Aku
menghapus dia….
Aku hapus
nomernya dari handphone ku karena texting terakhir kami, dia minta
maaf.
Sungguh
tidak mengerti. Untuk apa?
Tadinya aku
berfikir, komunikasi baru, pembahasan baru, sebagai teman, mungkin?
……… Bodoh
ya?
Dia pernah
mengucapkan maaf dan bagiku itu sudah cukup.
Setelah
membaca textnya, yang muncul di benakku, “Apa dia sejahat itu? Bagiku dia
baik.”
Entah bagaimanapun kami dulu menyelesaikannya, ya, bagiku dia baik.
Menurut
pendapatku, orang yang meminta maaf secara tiba-tiba, it’s either they’re dying
or they did the worst.
Dia gak
sekarat, berarti dia melakukan yang sangat tidak baik.
“Dia
membohongiku sebanyak apa? Aku bahkan tidak tahu dia berbohong. Aku sebodoh
itu?”
Iya itu yang
terfikir olehku setelah membaca textnya.
Sejak text
itu, setiap habis melihat namanya.. aku butuh waktu….
untuk terdiam,
untuk berfikir, mengingat.
Sebelum dia
meminta maaf, sebelum hari dimana maaf itu terucap yang kedua kalinya, aku
baik-baik saja, dan aku fikir, kami baik-baik saja.
Kemudian
terucap “maaf” itu, yang seharusnya bagian dari masa lalu.
Dan kami,
menjadi tidak baik-baik saja.
Aku unfollow
twitter nya.
Haha lucu.
Bagaimana media sosial begitu mempengaruhi keseharian dan perasaanku.
Mungkin
beberapa menyebutnya kekanakan, tapi itu bukan tindakan emosional sesaatku seperti anak
kecil.
Aku hanya
melakukannya agar tidak melihat namanya dan membuatku merasakan yang tidak
ingin kurasakan.
Karena
terlalu hebatnya perasaan ini – yang aku sendiri pun tidak tau harus
menyebutnya apa.
Aku sudah
menghapus dia dari segala media.
Dan hati,
mungkin bukan salah satu dari media itu.